HALONIAGA.COM, Tuban – Siapa yang tak kenal dengan pare, sayuran yang biasa dikonsumsi masyarakat. Meski begitu, banyak juga yang tak begitu menyukai sayuran tersebut.
Rasa pahitnya, membuat sejumlah kalangan muda terutama anak-anak tak begitu suka. Padahal, pare dinilai bagus manfaatnya untuk kesehatan.
Namun, salah satu pelaku usaha yang sukses mengubah rasa pahit pare menjadi makanan ringan yang menggiurkan ialah Kayami, warga Desa Margosoko, Kecamatan Bancar, Kabupaten Tuban yang mengolah kripik pare sejak tiga tahun yang lalu.
“Saya produksi kripik pare ini sejak awal tahun 2020. Alhamdulillah perlahan lancar dan diminati masyarakat,” ujarnya Sabtu, (05/03/2022).
Perempuan ramah ini mengawali usahanya, karena ingin berinovasi membuat kripik pare lantaran berkeinginan untuk mengubah rasa pahit pare menjadi cemilan kekinian dengan nilai jual yang lebih baik.
“Awalnya ingin berinovasi tapi mikir-mikir bingung, terus tetangga saya ada yang tanam sayur pare dijual di pasar katanya murah dan nggak laku. Terus saya ada ide gimana bisa menjadi cemilan yang bisa dinikmati semua kalangan dan akhirnya jadilah kripik pare,” ucapnya.
Dari ide itulah, hingga kini kripik pare yang ia beri nama R and G ini, mulai dikenal sampai saat ini bahkan penjualannya sampai keliling nusantara, seperti di Jakarta, Surabaya, Probilonggo dan kota-kota lainnya.
Untuk memperkenalkan produknya hingga keliling nusantara, Ami sapaan akrabnya selalu mengikuti berbagai workshop. Dari kegiatan tersebut ia mengaku bisa menambah jejaring pertemanan dan memperluas jaringan baik online maupun offline. Dengan begitu produknya bisa dikenal oleh banyak orang.
“Alhamdulillah penjualan sudah bisa dibilang keliling nusantara, setiap ada info kurasi produk selalu mengikuti dan dari situlah kripik pare bisa keliling nusantara dibantu juga oleh tim UMKM Tuban,” katanya.
Biasanya, satu kemasan kripik pare yang dijual oleh perempuan berusia 40 tahun ini dibandrol dengan harga Rp12 ribu per kemasannya. Untuk sampai ke tahap ini, Ami mengaku jika harus melalui perjuangan yang luar bisa bahkan sempat ingin menyerah. Lantaran prosesnya yang begitu rumit seperti mencari market.
“Yang saya tahu saya produksi tempe dan saya jual ke pasar itu saja, nggak pernah tahu market luar,” jelasnya.
Lebih lanjut, kendala yang sering dialami oleh Ami yaitu dalam hal kemasan yang belum tersedia di Tuban. Ia harus memesan kemasan di luar daerah yang memakan waktu lebih banyak, serta membutuhkan modal lebih karena harus membayar ongkos kirim (ongkir).
“Selain itu juga permodalan apalagi di musim pandemi seperti ini sangat terdampak. Waktu pesannya juga lama dua migguan lebih belum lagi kemakan ongkir,” pungkasnya. (drw)